Kamis, 04 November 2010

SAJAK-SAJAK NYANYIAN RINDU

Fana-ku
Sinar yang menyinari heningnya malam ini,
telah redup oleh jati diri
Kehampaan hari ini,
telah berlalu karena kalam-Mu

Semua kata tertanam,
melihat senyum yang ranum
Semua rasa tersimpan,
walau tak kesampaian tuk dibuktikan

Kalam-Mu pintu menuju surgaku di dunia
Rahmat-Mu adalah rizkiku
Semua tentang-Mu kuabadikan dalam kalbu,
sampai kefanaan benar-benar menyatu di satu titik
---------------------------------------------------------------
Malam satu Syawal
Di malam satu syawal
Angin berhembus perlahan
Menyentuh kulit,
memberi kesejukan dalam pekat
Dalam relung hati yang dalam,
terhampar sejuta harap
Dalam tiap-tiap detik spektrum yang tercurah,
dibalik cahaya ada warna yang terpancar indah
----------------------------------------------------------

Jangan Tanya?
Pada bulan
Jangan tanya rupa dimalam ini,
sebab ia bersedih!

Pada bintang
Jangan paksa ia tertawa dimalam ini,
sebab awan bermuram!
Mungkin sebentar lagi langit menangis,
sebab tak kuasa ia menahan beban!

Pada diriku
Jangan tanyakan kepedihan,
Sebab bibir tak kuasa tuk mengatakan!

Pada dirimu
Tanyakan kenapa semua ini terjadi?
--------------------------------------------

Gerimis Rindu
Rintik gerimis menggenang
Sepi hati mengenang
Kalut dibelahan jiwa mengayun
Getar-getar didada mengalun

Disini kusimpan angan,
entah disana kau simpan apa?
Disini kugenggam rindu,
entah disana kau simpan apa?
Disini kugores kisah,
Lewat sebait kata
Kuingin kita berjumpa
-----------------------------

Bahagia yang terpendam…
Diatas bahagia yang terkubur dalam
Kubuka tabir malam yang berselaputkan mendung tanpa rembulan
Kususuri lorong-lorong gelap di masa silam
Kusibak tirai hitam yang berbau kemenyan

Dengan tinta air mata,
Kutulis kisah luka dihamparan sajadah

Dengan sesal,
Kubingkai rangkaian do’a untuk keabadian

Dengan izin-Mu,
Aku masih menaruh harap dimalam ini!
-------------------------------------------------

Kata…
Ketika kata sudah tak bisa mewakilkan rasa
Keheningan senyap menyapa relung hati yang kosong

Ketika kata sudah berlarut kalut dalam dada
Yang ada hampa…

Ketika hampa yang menggerogoti hati
Yang tersisa mati…

Aku terjebak dalam lautan kata yang tak bermakna
Aku terjebak dalam bisingnya dunia tanpa rupa
Aku terjebak dalam lamunan angan yang tak ada harap
Hingga aku hanya bisa berharap
----------------------------------------------------------------------

Maaf Jika Ku Lancang!

Maaf jika aku telah lancang
Tapi inilah diriku
Sosok pengemis yang menghiba cinta padamu

Inilah hatiku…
Andai kau mau menyibak isi dalamnya
Tentu namamulah yang terukir disana

Inilah ucapku…
Bersama angin dimalam ini,
Kubingkai sebingkai kata “aku sayang kamu”

Tapi diamlah jika kau ragu,
Karena aku sudah siap menyambut kepedihan jika ia datang padaku
-----------------------------------------------------------------------------------
Mimpi…
Sakit ketika aku terbangun dari mimpi
Aku tak kuasa menahan tangis diatas senyum manis
Aku tak mampu membendung kecewa diatas tawa
Aku ingin bangkit,
Berdiri dan berlari…
Tapi sia-sia!
----------------------------------------------------------------

Senja Di Sebuah Pantai
Desiran angin membelai dan merayu
Deburan ombak memecah keheningan pantai
Aku Sendiri....
Di depan terpampang matahari tenggelam
Hanya pasir putih yang setia menemani
Aku berjalan menyusuri pantai
Kulewati karang dengan harapan
Kutatap rona senja pudar
Kugapai pulau bahagia sirna
Aku Duduk menanti malam sendiri
Aku terbaring bersama gelap sendiri
Kutahan dingin sendiri
Kusendiri....
Ditepi pantai sendiri!
--------------------------------------------------------------------------------

Menanti Fajar

Sosok Perawan tua,
Berusia separuh dunia
Dimalam gulita tanpa cahaya
Duduk di depan jendela

Kepalanya bertengadah ke langit
Matanya menatap tajam bulan sabit

Tangannya menadah keluar
Merasakan jutaan tetes embun malam
Dingin.....Hanya dingin terasa

Badanya kurus berbalut kain kafan
Kakinya terjuntai di atas roda kehidupan
Yang tersisisa hanya harapan

Diluar gelap
Didalam tanpa pelita
Sosok tua yang duduk sendiri,
Sabar menanti fajar pagi!
---------------------------------------

Izra’il ....

Bila Izra’il telah mendekat hingga sejenggakal mata
Mata-mata sayu menerawang kesegala penjuru dimensi waktu
Gelombang seakan terhenti di laut
Angin pun seakan terhenti bertiup
Nadi seakan terhenti berdenyut

Mata - mata kembali terbelalak menanti gejolak jantung tuk berdetak...
Helaan nafas sambung menyambung-menyambung tak berujung...
Sekujur badan tersungkur
Dingin jasad terbujur

Di alam lain,
kembali mata-mata itu berkaca...
Ia menjelma kesegala rupa


Cretaed By. Arief Fadillah
------------------------------------------]

Meratus Menangis

Tiap detiknya Ia bersedih …. .
Tiap waktu Ia merintih …..
Tiap musim air matanya mengalir sampai kepelosok-pelosok kota

Sayapnya dipenjuru empat mata angin terkoyak
Ribuan kakinya tumbang tertikam gergaji penebang tak bermata
Perutnya disobek, dikeluarkan bongkahan batu hitam miliknya

Meratus menangis….
Di depan jutaan mata
Ia tampak telanjang dada!
Keperwanannya direnggut tangan-tangan bejat demi recehan milyaran rupiah
Kesuciannya ditukar dengan mengorbankan kehidupan anak bangsa yang tak berada

Meratus menangis…..
Sebuah tangisan alam yang bisu
Hanya bisa dilihat dengan hati….
Dirasa dengan nurani….
Dipahami dengan jiwa yang iba!

Meratus menangis….
Masa depannya musnah
Harapannya pupus ditelan zaman
Tinggal menunggu waktu,
Mungkin Sehari…. seminggu….
sebulan….setahun atau seabad….
Kita semua akan tahu,
Arti dari tangisnya!
------------------------------------------

Kupu-Kupu
Seekor kupu-kupu cantik
Terbang berkelibat dimalam hari
Bertengger diranting kembang kota
Menuju keranting yang lain

Kupu-kupu yang masih muda
Punya dua sayap dengan warna biru muda
Kupu-kupu yang cantik
Berharap ia agar ditangkap
Kemudian dimasukkan kedalam sangkar kenikmata
untuk dirasakan

Kupu-kupu yang elok
Kau memiliki dua sayap yang kuat
Dan engkau bisa terbang kemanapun yang engkau mau,
untuk menghirup madu
Bukan untuk membagi setetes madu

Kupu-kupu......
Engkau binatang yang bebas
Dan jangan sampai salah,
dalam menentukan kebebasanmu
--------------------------------

Tangis Di Penghujung Senja


Tangis Di Penghujung Senja

“Rasa Ini Telah Usai.....
Tangisan Menjadi saksi keterpukauan hati
Melodi Lagu kebahagiaan terdengar sumbang  bagai rintihan duka
Sunyi yang senyap menjadi teman kesendirian
Rasa ini telah pergi....
Kerinduan mengalir bersama impian yang tak terjangkau
Kidung-kidung cinta tak lagi mengalun merdu
Purnama yang menghiasi angkasa pudar terlilit  awan hitam
Yang ada kelam....
Hanya malam yang kelam berselimutkan sesal
Dan sesal ini....
Tak berujung!
Rasa ini Telah Hilang.....
Kasih sayang  menjadi kebencian yang tak terbatas
Hidup menjadi hampa,ketegaran jiwa tak mampu membendung kekecewaan ini
Karena luka ini... begitu sakit rasanya!
Rasa ini Telah Lenyap....
Serumpun janji-janji indah hanya  menjadi sebatas janji yang diingkari
Pengorbanan dibalas  Kebohongan... Kesetiaan dibalas  penghianatan
Sungguh... Mulut yang dikira manis, Ternyata berbisa!
Bisa yang mendatangkan kehancuran, Kehancuran hati....jiwa....dan pikiran
Dan kisah ini...
Diakhiri dengan sesal....
Sesal yang tak berujung !”

        Aku menghela nafas panjang, pikiranku terfokos kekejadian beberapa hari kemaren. Dalam lamunan sore itu hatiku bertanya - tanya “Apa setiap wanita selalu pernah merasakan luka akibat cinta ? Apa semua perasaan wanita sakit ketika diduakan laki-laki yang dicintainya? apa memang sudah menjadi suratan takdir wanita selalu teraniaya dalam menjalani cinta?”. “Mel..Amel... kamu dimana, didepan ada Igap mencari kamu?” tersadar aku dari lamunan ketika suara ibuku memanggil aku. “Iya bu” sahutku sembari menghampiri ibuku. “Mel.. itu didepan ada Igap, katanya dia mau ketemu kamu”. “Laki-laki  itu lagi, mau apa dia ketemu aku, paling-paling mau minta maaf dan meyakinkan aku kalau dia tidak bersalah” setengah malas kulangkahkan kakiku mengahampiri dia.
         “Mel... tolong dengarkan dulu penjelasan aku” dengan muka memelas dia menarik simpati terhadapku, tapi aku tidak sedikitpun percaya dengan omongannya yang tidak bisa dipercaya. “Igap... sudah aku bilang berapa kali sih, jangan temui aku lagi!, kamu engga dengar ya?”. “Aku mohon dengarkan aku sebentar saja, ini menyangkut masa depan kita! aku...”, belum selesai ia bicara sudah langsung aku potong “Lebih baik kamu pergi sekarang, karena orang sepertimu tidak pantas memelas-memelas seperti ini atas kesalahan yang kamu lakukan terhadapku”. Melihat emosiku yang meledak - ledak bagai bara, laki-laki kurus bertubuh agak pendek itupun berlalu meninggalkan aku. Busyeet... apa yang barusan aku lakukan! kenapa aku tidak mampu menguasai emosi. Sebenarnya dari lubuk  hati yang terdalam aku masih mengharapkan dia. Tapi aku belum bisa memaafkan dia. Oh Tuhaan... apakah ini ujian darimu untuk mematangkan ketegaranku!.
***
         Abu Dzaren Al-Gipari, seorang pemuda blasteran Indo-Arab ini yang dulunya memberikan secarik kisah bahagia dikehidupanku. Sungguh melambung keangkasa aku dibuatnya, hari-hariku disulapnya menjadi sebuah keindahan dan keceriaan, hingga waktu seakan tak terasa. Namun sekarang kenyataannya berkata lain, kalau dulu dia orang yang paling aku cintai maka sekarang dia jadi orang yang paling aku benci... kalau dulu ia orang yang paling dekat denganku maka sekarang ia aku anggap orang yang paling jauh dariku. Walaupun sering ia menjumpaiku untuk kembali kepadaku, tapi aku selalu menghindarinya, karena aku beranggapan “sekali selingkuh...tetap selingkuh, sekali buaya... tetap buaya, tiada tempat dihatiku untuk seekor buaya!”. “Aameeel... lagi ngelamunin apa? Ngelamunin mas Igap ya?”, tersentak kaget aku ketika dikejutkan teguran temanku yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. “Kamu Hes, engga ngelamunin siapa-siapa ko’! aku cuma engga enak badan”. “Ya udah, kalau kamu engga enak badan lebih baik kamu istirahat pulang, nanti biar aku yang memintakan izin sama pa dosen!”, tutur sahabatku yang bernama Hesty, dia memang baik, satu-satunya sahabatku yang mau ngertiin aku, “Makasih Hes, sepertinya aku memang perlu istirahat, aku balik dulu ya Hes”. “Mel... tunggu sebentar!, ini ada titipan surat dari Mas Igap, terserah apa mau kamu baca atau kamu buang itu hak kamu, yang jelas aku sudah ngasih surat ini ke kamu”. Kuambil surat yang beramplop jingga itu dari temanku, sambil berlalu dihadapannya kutinggalkan kampus tempat aku kuliah.
***
         “Sayang...! ko’ sudah pulang” tegur ibu ketika aku tiba didepan rumah. “Iya bu... Amel engga enak badan, makanya pulang duluan, tapi tadi sudah ko’ diizinin  sama Hesty!”.  “Kamu sakit ya sayang?, ibu telepon dokter pribadi keluarga kita ya!, sekarang kamu istirahat saja dulu di kamar”. “Engga usah lah bu... Amel engga sakit ko’, cuma engga enak badan doank!”. “Badan panas  gini ko’  dibilang engga sakit, bi.. bi... bi Inah!”, “iya  nyonya” sahut bi Inah dari arah dapur. “Ada apa nyonya”, “cepat... kamu telepon dokter Bambang sekarang, suruh ia  segera datang”, “baik nyonya”. “Ibu..., kan sudah aku bilang, aku engga sakit, jadi buat apa panggil dokter segala”. “Ibu khawatir sayang... ayu sekarang kamu istirahat dulu di kamar nunggu dokter Bambang datang”.
         Selang seberapa saat dokter Bambang tiba dirumah yang kebanyakan orang menganggapnya sebuah istana, tapi aku yang tinggal didalamnya tidak merasa kalau ini istana, malah aku merasa kalau rumah yang aku diami ini adalah sebuah penjara. Meski bangunan rumah yang luas tanahnya satu setengah hektar ini dilengkapi dengan segala fasilitas yang serba moderen, barang-barang import berlabel luar negeri, tapi sedikitpun aku tidak mendapatkan kebahagiaan dengan itu semua. Ibu  sibuk dengan bisnisnya yang tak mengenal waktu, ayah minggat dari rumah mengejar wanita muda, dan Igap orang yang aku sayang sepenuh jjiwaku tega mengkhianati aku dengan wanita lain.
         “Nyonya Hendratno... nyonya tidak usah khawatir, putri  nyonya tidak apa-apa, dia hanya perlu istirahat, usahakan jangan terlalu banyak lelah dan jangan terlalu banyak berpikir, ini ada resep yang saya  buatkan, diminum menjelang pagi dan malam!” kata dokter Bambang setelah memeriksa aku. “Baik Nyonya, kalau begitu saya pulang dulu, nanti kalau ada apa-apa nyonya langsung saja telepon saya”, “ Saya ucapkan terima kasih dok atas kedatangannya!” sahut ibuku sambil mengantarkan dokter Bambang kedepan rumah.
***
        Di dalam kamar yang berukuran 10 x 10 meter persegi, aku terbaring bagai mayat. Segala kenyamanan dan  kelengkapan fasilitas kamar  tiada jua mampu menghiburku yang sedang berduka. Ini mungkin yang kesekian kalinya aku dikecewakan laki-laki. Pertama kali aku mengenal cinta aku sudah terluka, waktu itu Firman yang ternyata dia cuma menginginkan harta yang kumiliki, setelah segala keinginannya yang berhubungan dengan materi terhadapku tidak aku penuhi, ia langsung mencampakkan aku bagai bunga yang sudah kehilangan kelupak... wanginya sirna dilempar pula begitu saja, hingga ia jatuh ketanah dan terinjak.          Kemudian Hendra putra sulungnya om Wisnu yang kebetulan om Wisnu tersebut salah seorang relasi bisnis mama. Lagi-lagi aku dikecewakan Hendra, ternyata dia tidak betul-betul mencintai aku, melainkan dia dan om Wisnu sengaja memperalat aku untuk mengambil simpati mama atas perusahaan mereka yang hampir bangkrut. Dan yang paling membuat aku luka adalah yang terakhir ini, Hesty sahabat terdekatku pun belum mengetahui sepenuhnya permasalahan yang mesti aku selesaikan dengan Igap, apalagi ibuku yang jarang berada di rumah.
         “Kring...kring... kring...” berdering suara telepon di kamarku. “Hallo... ini siapa ya? ada perlu apa”. “Hallo juga! Mel... ini aku Hesty! gimana keadaan kamu? sudah baikan?”, “Kamu Hes... kirain siapa!, aku engga apa-apa ko’, cuma kecapean aja”. “Ngomong-ngomong surat mas Igap yang aku kasih ke kamu itu sudah dibaca?, isinya apa-an Mel?” dengan semangat  Hesty sahabatku menanyakan tentang surat yang dititipkan Igap padanya, andai dia tahu permasalahan yang aku hadapi sebenarnya, pasti dia juga akan membenci laki-laki itu. “Belum... naruhnya dimana juga aku lupa!”. “yaa... padahal aku kan juga pengen tahu apaan isinya, kamu buruan baca ya Mel, ntar kalau sudah dibaca ceritain ke aku ya!”. “Iya deh... nanti kalau ada waktu akan aku baca”, “ko’ kalau ada waktu sich, kayaknya mas Igap bener-bener pengen minta maaf sama kamu Mel, sebenarnya salah dia apa sich?”. “Ntar aja ya Hes, nanti bakal aku ceritain semuanya, sekarang aku pengen istirahat dulu, see you...by” sumpek rasanya mendengar nama itu disebut-sebut, langsung aku letakkan gagang telepon yang aku genggam.
         Dengan alasan sekedar ingin tahu tanpa sedikitpun mengurangi rasa kebencianku padanya, kucari surat yang dititipkan sahabatku siang tadi kepadaku.  Kukeluarkan isi tas yang aku pakai kuliah tadi siang, kubuka dilembaran buku-buku, kutemukan disana sepucuk surat dengan amplop warna jingga. Surat itu kubaca perlahan-lahan tanpa penghayatan:
Haruyan, 18 Juni 2007
Dear Amel...
         Dengan segenap kejujuranku yang kamu anggap sebagai kebohongan, aku gores secarik kertas ini dengan seribu pengharapan. Mungkin tipis keberhasilanku untuk mengembalikan kebersamaan kita seperti dulu lagi, tapi sebagai manusia aku  tidak akan pernah berhenti mencoba sampai nafas ini terhenti.
          Aku tahu, kesalahanku ini terlampau sulit untuk dilupakan.  Aku juga sadar, kesalahan ini  terlampau berat untuk dimaafkan. Tapi aku yakin... Kebesaran hatimu untuk memaafkan, jauh lebih besar dari segala kesalahan yang aku lakukan. Karena kutahu... dari lubuk hatimu yang terdalam, mungkin  masih tersisa setitik kasih  untukku.
Wassalam :        
Dari orang yang teramat menyayangimu


Abu Dzaren Al-Gipari

         Aku terpaku menatap surat berwarna jingga, kebencianku terhadapnya mulai luntur, mungkin keyakinanku sudah tumbang seumpama kayu yang sudah menjadi arang. Hingga sedikit demi sedikit kucoba membukakan pintu maaf untuknya. Kuberikan  kesempatan kedua kepadanya untuk memperbaiki hubungan yang telah retak karena ulahnya.
***
        Keesokan harinya aku jalan berdua dengan Igap kekasihku. Aku bahagia karena kami bisa bersama lagi dalam menyambung tali kasih yang pernah retak. Kami berdua memutuskan untuk pergi ke pantai pagi itu, kebetulan waktu itu hari Minggu, jadi kami bisa berlama-lama menikmati suasana pantai yang lokasinya masih berada didaerah tempat tinggal kami. “Sayang... coba kamu lihat pasir putih itu... semoga cinta kita seputih pasir-pasir ini ya!” tutur Igap kekasihku dengan lembutnya. Aku terdiam bercampur ragu mendengarkan gombalannya, aku belum begitu yakin kalau kata - kata tersebut keluar dari lubuk hatinya yang terdalam, sebab kata-kata seperti itu juga sering keluar dari mulutnya dulu ketika kami menjalani hubungan yang pertama, dan ujung-ujungnya dia juga tetap melukai aku sesudah mendapatkan aku “ketika itu bertepatan waktu liburan semester: kami berdua pergi berlibur ke luar kota, Pulau Bali menjadi tempat tujuan kami, enam malam kami berada disana. Dimalam pertama aku masih bisa mempertahankan sesuatu hal yang paling berharga dalam diriku, namun dimalam-malam berikutnya aku benar-benar tak mampu membendung rayuan mautnya hingga akhirnya sesuatu yang berharga itu pun sudah berada digenggamannya. Tapi aku rela memberikan untuknya, karena dia orang yang aku cintai. Namun balasannya terhadapku menyakitkan, setelah aku beri air susu dia membalasnya dengan air toba. Satu minggu setelah kepulangan kami dari Bali, aku mempergoki dia dengan wanita lain sedang bercumbu mesra disebuah taman. sungguh... kejadian ini yang paling menyakitkan dalam hidupku”. Kendati demikian, sekarang aku memberikan kesempatan yang kedua kepadanya agar ia benar-benar merobah sikapnya.
         Sepulangnya dari pantai keceriaan kembali menghiasi senyum-senyumku. Rasa sayangku terhadapnya mulai tumbuh kembali bagai kuncup-kuncup bunga yang bermekaran di pagi hari, bahkan segala keraguan yang ada dihatiku sudah hilang lenyap tak berbekas. Yang ada... rindu... rindu... dan rindu.
***
         Siang itu udara di kampus terasa panas, ditambah mata kuliah yang disajikan dosen teramat membosankan. Ingin rasanya aku cepat-cepat keluar, karena diluar seseorang telah menugguku. Kutengok jam yang ada di-dinding, ia berdetak serasa lambat, pergeseran dari detik menuju menit bagaikan hari merangkul tahun. Nampak sekali kegelisanku untuk cepat-cepat keluar dimata Hesty sahabatku, hingga ia mendekati tempat dudukku “Kamu ko’ gelisah gitu, what’s up girl?” tanya Hesty sahabatku kepadaku. “Iya nich Hes, diluar ada yang nunggu aku! aku pengen pulang duluan... gimana yach?” jawabku minta pertolongan kepada Hesty. “Ya udah, kamu izin aja dulu keluar! terus engga usah balik ke kelas lagi, nanti tas kamu biar aku yang bawain”. “Makasih ya Hes, kamu memang benar-benar sahabat terbaikku, he...” sambil tersenyum aku meninggalkan ruangan kulihaku. 
         Tanpa disengaja Hesty membuka tas yang kutitipkan padanya, didalamnya ia menemukan sebuah diary tentang segala kejadian yang aku tulis dua tahun terakhir ini. Ia pun membuka dan membaca diary tersebut, hingga pada saat menemukan halaman tertentu yang aku tulis, ia terhentak dan  terhenyak :   

Sabtu, 2 Juni 07 (Pulau Bali)

         Hari ini aku tidak sepenuhnya sadar dengan  apa yang aku alami. Aku tidak tahu, apa  ini sebuah kebahagian... atau malah sebuah kehancuran atas apa yang aku lakukan berdua dengannya tadi malam. Jujur... aku tak mampu mebendungnya, ketika waktu seakan terhenti di malam itu... Kemudian ia tergetar disaat sepi... Dan tersadar aku  disaat pagi!
................................................................................................................................
...............................................................................................................................
 Minggu, 10 Juni 07 (Pulau Impian Yang Sirna Di Telan Kabut)
      
         Hari ini aku tenggelam  ditelan gelombang pasang surut kehidupan. Segala ketakberdayaanku mentertawaiku. Keputusasaan... penyesalan...  kebencian... membaur jadi satu, dan bersarang dalam dada setelah nampak jelas didepan mata,  dia berdua bercumbu mesra.  Aku... Kecewa!
................................................................................................................................
................................................................................................................................

         Setelah membaca diaryku, tanpa menghiraukan dosen yang sedang mengajar buru - buru Hesty sahabatku keluar menghampiri aku yang sedang berdua dengan Igap di taman kampus. Tanpa banyak tanya, tiba-tiba... langsung tamparan tangannya mendarat dimuka Igap kekasihku “Dasar laki-laki kurang ajar... buaya darat... bajingan... kenapa kamu juga ngelakuin itu terhadap Amel?,  makian demi makian terlontar dari mulut Hesty  yang aku sendiri tidak tahu ujung pangkal permasalahannya. Karena merasa bersalah, Igap berlalu meninggalkan kemarahan Hesty dan juga meninggalkan aku. “Dasar pengecut..., lebih baik  kamu enyah dari muka bumi ini!” bentak Hesty dengan emosi yang meledak-ledak. Aku jadi bertanya-tanya atas kejadian ini, dengan sikap sedikit tenang kusadarkan Hesty dari emosi yang meguasai diirinya, “Hes... tenang Hes, apa yang terjadi?, ada apa antara kamu dengan Igap”. Kuajak dia ketempat yang lebih sunyi  untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan deraian air mata kesedihan dan penyesalan,  Hesty sahabatku mulai bercerita : “Sebenarnya aku sama sekali tidak pantas  menjadi sahabatmu  Mel, karena selama ini aku menjadi musuh dalam selimut bagimu. Aku menikam kamu dari belakang tanpa sepengetauan kamu. Mungkin kamu akan membenci aku untuk selamanya setelah mengetahui ini”, “Ada apa Hes? sampai kapanpun kamu tetap sahabatku....!”. Kembali Hesty meneruskan ceritanya “Sebenarnya aku sudah menjalin tali kasih dengan Igap sebelum kamu Mel...,  bahkan sampai sekarang!, sedang kamu kami jadikan alat untuk memenuhi kebutuhan materi kami. Setelah lama berteman denganmu dan aku mengetahui kamu adalah golongan orang kaya  dan terpandang, aku dan Igap menyusun rencana untuk memasukkan kamu dalam permainan ini... tujuannya cuma untuk uang Mel, engga lebih dari itu!. Dan tadi ketika di kelas, tanpa sengaja aku membaca diary yang kamu tulis!. Sungguh... aku sangat terkejut dan sakit hati, ketika mengetahui kalau dia sudah  mengambil sesuatu yang paling berharga pada diri kamu yang melebihi nilai sebuah bilangan nominal”. Tanpa banyak tanya “Plak...., tepat sebuah tamparan melekat di pipi kirinya!”, kemudian berlalu aku meninggalkan Hesty setelah kukata padanya “Mudah-mudahan aku tidak bertemu orang seperti Igap dan orang sepertimu lagi...”.
***
         Rona-rona senja mulai lenyap ditelan gelap, hening malam menampakkan muka dengan bulan sebagai singgasananya. Bintang-gemintang berpesta ria dengan kerlap-kerlip sinarnya. Rengkekan serangga terdengar dengan lagu kebahagiaannya, jangkrik menari... burung hantu bersua... gagak merekak diangkasa. Tapi aku sendiri, terpenjara di sebuah pembaringan yang penuh kehampaan.
          Malam ini aku menangis diatas gagak-gagak yang sedang tertawa. Di malam ini aku bersedih bagai purnama tanpa rupa. Dan di malam ini juga aku terhenyak oleh jutaan sesal yang mengganjal. Hingga tak bisa kugerakkan mataku untuk melewati jembatan kehidupan di alam mimpi, walau aku sudah berada di terminal mimpi.
* * *
         Suasana pagi itu begitu pekat mencekam, awan hitam bercampur kabut menyelinap masuk kesegala sudut ruangan istana keluarga Hendratno. Hujan lebat mengguyur deras  keluar dari mata-mata yang penuh iba. Didalam sebuah kamar mewah yang berukuran 10 x 10 meter persegi di rumah itu, tampak satu sosok tubuh tergantung tak bernyawa diatas langit-langit kamar. Mungkin ia bunuh diri setelah tangisnya reda dipenghujung senja.

sepenggal kisah tentang tanahku

Sepenggal Kisah Tentang Tanahku

Lelah kuteriakkan kata-kata merdeka
pada jutaan hektar tanah terjajah
pada alam yang hidup seekor Enggang dengan sayap yang patah
pada bumi yang sekarang menyisakan sepenggal kisah
tentang kemakmuran,
tentang kesejahteraan,
tentang keselarasan, antara fatwa dan kebijakan

Letih kusandang reruntuhan malam
dalam keringat pagi yang tertumpah basah
atas teriakan bukit-bukit batu menghiba
atas kesakitan belantara simpur mendera
atas kucuran air mata sungai bernoda
atas semuanya! siapa yang mau perduli?

Luka kudera atas api yang membakar tubuh sendiri
atas semuanya! Ini hanyalah sepenggal kisah Tanahku....!



















Tanggalkan Waktu

Aku tanggalkan waktu untuk sujud sejenak, dan
Melayari telaga langit
Aku langkahkan hati sisiri sunyi, untuk
Menyapu segenap pelataran malam

Dalam kalut tanya,
Adakah ini hati  yang tersembunyi?
Benarkah ini jiwa yang terlupakan?
Setelah sekian lama,
Baru kurebahkan diri selami kalbu
Hingga kuhanyut  bersama tepis embun

Dalam benak surut,
Kuhamparkan sajadah kusam
Agar kududuk di atasnya dalam ketiadaan




















Gerimis di Kotaku...!

Gerimis belum juga usai
Batas pagi sudah diambang muara
Kota yang jelata,
Hanya para sufi yang paham kepedihannya

Pada malam, ia adukan perihal siang membakar kota
Namun malam mencela,
ditelannya seluruh kota dengan kelam
hingga para abid terbelenggu dalam sekam

Gerimis di kota belum juga usai
Sesudah usai,
Mudah –mudahan yang menggantikan bukan badai!























Sungai dan Pengemis

Sungai di kotaku mengalir
Dari keheningan masa lalu
Seorang pengemis termangu di pelintasan Sulaha
Duduk berjejer dengan memasang muka keriputnya
Sesekali matanya mengeja gulungan aksara
Tentang kepedihan, keperihan, dan takdir
Sedang arus sungai menjadi saksi abadi,
Betapa mereka sangat tak diperhatikan!




























Kota Tua

Kota tua yang melumuri wajahku
Dengan sejarah dan juga darah
Ungsikan letihmu

Kota tua yang lama kutinggalkan
Terkenang lekuk tubuhmu
Memuai harapan mimpi
Dalam dekap khayal keabadian

Kota tua yang sekian lama diam
Adakah terasa perubahan
Untuk penghujung tahun ini
Jangan biarkan lagi penguasa yang menilai...!























KIAMAT

Kabut melipat segenggam hati
Begitu kupaham pedihnya
Cahaya yang  kian redup
Telah jadi kalam dalam zikir malam

Disini sepi,
Pekikan angin menggema
Pada titian hidup menuju mati
Kakiku terjepit dipertengahan

Disini sendiri,
Hembusan nafas begitu sayup terdengar, kemudian terhenti
Pada jalinan goresan takdir
Kiamat sudah terjadi...!






















Rabu, 03 November 2010

Syair Malam untuk Seorang Kekasih

Bukan sebuah keharusan jika aku menulis tentang kerinduan!,tapi tidaklah benar jika aku mendiamkannya hanyut dalam igauan senja…  
Karena malam sebentar lagi mengepakkan sayap-sayap  keheningannya…,
dan  ia segera mengantarkan rasa sepi dalam bayang- bayang sunyi!

Selasa, 02 November 2010

Tanggalkan Waktu

Aku tanggalkan waktu untuk sujud sejenak, dan
Melayari telaga langit
Aku langkahkan hati sisiri sunyi, untuk
Menyapu segenap pelataran malam

Dalam kalut tanya,
Adakah ini hati  yang tersembunyi?
Benarkah ini jiwa yang terlupakan?
Setelah sekian lama,
Baru kurebahkan diri selami kalbu
Hingga kuhanyut  bersama tepis embun

Dalam benak surut,
Kuhamparkan sajadah kusam
Agar kududuk di atasnya dalam ketiadaan

Sepenggal Kisah Tentang Tanahku

Lelah kuteriakkan kata-kata merdeka
pada jutaan hektar tanah terjajah
pada alam yang hidup seekor Enggang dengan sayap yang patah
pada bumi yang sekarang menyisakan sepenggal kisah
tentang kemakmuran,
tentang kesejahteraan,
tentang keselarasan, antara fatwa dan kebijakan

Letih kusandang reruntuhan malam
dalam keringat pagi yang tertumpah basah
atas teriakan bukit-bukit batu menghiba
atas kesakitan belantara simpur mendera
atas kucuran air mata sungai bernoda
atas semuanya! siapa yang mau perduli?

Luka kudera atas api yang membakar tubuh sendiri
atas semuanya! Ini hanyalah sepenggal kisah Tanahku....!

                                  Murakata,    Nov 2010